Breaking News

Dilema Demokrasi Parpol di Tingkat Daerah

Oleh : Rasinah Abdul Igit


Benarlah tesis banyak ahli. Indonesia belum benar-benar siap berdemokrasi. Atau, Indonesia memang tidak cocok menjadikan demokrasi sebagai landasan bernegaranya. Untuk negara yang ekonominya yang masih kembang-kempis, demokrasi akan menjadi ladang ketidakberesan, praktek jual beli suara, dan sejenisnya. Masalahnya, mau pakai sistem apa? Sebab hanya demokrasilah sistem yang memberikan ruang dan peluang bagi siapa saja untuk mengkritik demokrasi itu sendiri.


Di politik pemerintahan, demokrasi secara ideal menghendaki keseimbangan. Lalu muncullah tiga cabang kekuasaan : eksekutif, legislatif dan yudikatif. Ini gagasan yang pertama kali disampaikan oleh Montesquieu, seorang filsuf Perancis di abad ke-18 silam. Eksekutif itu pelaksana pemerintahan. Legislatif itu pengawas pemerintahan, yudikatif adalah penghukum jika eksekutif dan legislatif melenceng. 


Eksekutif dan legislatif adalah elemen politik pemerintahan. Politisinya adalah produk dari partai politik. Siapa yang jadi presiden, gubernur, bupati, DPR, adalah produk partai politik (atau gabungan partai politik kalau syarat teknis mengharuskannya demikian). 


Sebagai bagian utama dari demokrasi, kini banyak pihak yang menyoroti praktek yang diselenggarakan oleh partai politik, baik praktek internal maupun eksternalnya. Parpol secara rutin menggelar Munas, Kongres, Muswil, Musda, Muscab, tapi nampaknya event rutin ini tidak mencerminkan bahwa arus bawahlah yang seharusnya menjadi penentu. Di DPP misalnya, siapa yang akan menjadi ketua umum parpol itu ditentukan oleh segelintir orang. Setelah disepakati, nama “dititip” ke daerah supaya dianggap sebagai aspirasi bawah. Nanti pengurus DPW tinggal bicara bahwa nama ini adalah aspirasi bawah. Mana ada penjaringan berjenjang dari bawah untuk menentukan siapa yang akan menjadi ketua umum. 


Di daerah bagaimana? Begini. Sekarang tren semua partai itu komando. Dulu PDIP yang sering diolok-olok sebagai partai komando. Tidak ada musyawah dan debat. Sekang semua partai melakukan itu. Gerindra? Jangan ditanya. Ini komando total. Tidak ada istilah rapat untuk menentukan siapa ketua DPC siapa ketua DPW. Tinggal tunggu turun SK saja dari pusat. Kabarnya ketua Gerindra NTB akan berganti, dari Lalu Fathul Bahri ke Lalu Iqbal. Tidak akan ada musyawarah.


Partai lain juga demikian. Bila hari berlangsung Muswil PAN NTB. Muswil berlangsung kurang sejam. Dipimpin oleh jajaran DPP lewat fasilitas daring. DPP tinggal membacakan siapa yang terpilih. Selesai.


Well, sulit mengharapkan demokratisasi kuat jika elemen utama demokrasi yang bernama partai politik tidak mencerminkan itu. Pintu kekuasaan adalah partai politik. Maka sehatnya demokrasi ya tentu tergantung sehatnya partai politik. Atau, kekeliruan parpol ini bisa ditutupi oleh kualitas pemimpin yang dihadirkannya ke ruang eksternal. PDIP adalah parpol yang tidak demokratis, tapi catatannya yang banyak melahirkan pemimpin bagus baik di level nasional maupun lokal tentu menjadi poin khusus. Megawati tidak tergantikan sebagai ketum, mungkin sampai Mega tutup usia nanti. Tapi jika Mega, dengan otoritas penuhnya, menjamin soliditas partai, menjaga ritme kaderisasi sehingga lahir bibit pemimpin  yang berkualitas, maka Mega diapresiasi. Partai-partai lain juga demikian, bisa mendapat poin positif untuk menutupi ketidakdemokratisan internal itu. Ketua umum di pusat tidak harus jadi calon presiden, karena praktek dia jadi ketum parpol tidak fair. Ia dipersilahkan menggelar kaderisasi yang bagus. Memilih bibit yang baik. Di daerah juga demikian. Seorang ketua DPW atau DPD tidak harus jadi gubernur atau bupati/wali kota, sebelum ia benar-benar membuktikan bisa membawa partainya menjadi partai yang mampu menciptakan kader calon pemimpin. 


Semua partai kini tersentralisasi. Siapa jadi ketua di daerah, itu mutlak kewenangan pusat. Alasannya tentu saja untuk menjaga soliditas internal. Alasannya, kalau persaingan dibiarkan liar di bawah, nanti malah partai jadi tidak solid. Maka DPP ambil alih semua. Misalnya, dalam waktu dekat Golkar NTB akan menggelar musyawarah daerah? Siapa yang akan menang? Tentu saja siapa yang dimau oleh DPP, bukan oleh peserta Musda. Bisa Mohan Roliskana, bisa juga Indah Damayanti Putri. Keduanya sedang melobi. Siapa yang dilobi? Bukan pemilik suara di daerah, tapi di Jakarta sana. Nasdem NTB juga sebentara lagi akan bermusyawarah. Siapa yang akan terpilih adalah siapa yang diinginkan DPP. Bisa Fauzan Khalid. Bisa juga Mori Hanafi. Keduanya sedang melobi. Siapa yang dilobi? Orang-orang DPP di Jakarta. Pada akhirnya, mereka-mereka yang terpilih inilah yang nantinya menjadi penentu sketsa dan warga Pilkada. Siapa-siapa yang akan maju akan bisa terbaca sejak sekarang.


Sisi yang lainnya, demokratisasi parpol ini adalah narasi elitis. Bukan narasi populis. Mana peduli pedagang-pedagang di pinggir jalan di Mataram atau di Selong soal siapa yang seharusnya pegang parpol A atau B atau C.  Ini adalah diskursus yang dibahas secara terbatas. 


Dulu pun, Perdana Menteri Singapura, Lee Kuan Yew, diberondong pertanyaan oleh banyak wartawan di sebuah tempat. Ia dikritik karena gaya pemerintahannya yang otoriter dan terpusat. Dengan santai dia menjawab. Jawabannya kira-kira begini kalau dalam kalimat bebas menurut penulis. “ Mau pakai gaya memimpin apa saja, mau pakai sistem apa saja, demokrasi kek, monarki kek, rakyat tidak peduli selama kebutuhan hidup mereka terpenuhi,”.

0 Komentar

Advertisement

Type and hit Enter to search

Close